Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
3/Pid.Pra/2021/PN Bnj | JUMINI | 1.Kepala Kepolisian Republik Republik Indonesia cq Kepala Detasemen Khusus Anti Teror 2.Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Cq. Kapolresta Binjai |
Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Jumat, 27 Agu. 2021 | ||||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penangkapan | ||||||
Nomor Perkara | 3/Pid.Pra/2021/PN Bnj | ||||||
Tanggal Surat | Jumat, 27 Agu. 2021 | ||||||
Nomor Surat | 3/Pid.Pra/2021/PN Bnj | ||||||
Pemohon |
|
||||||
Termohon |
|
||||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||||
Petitum Permohonan | Kepada yth : Hal : Permohonan Praperadilan Dengan hormat, Bersama ini mengajukan Permohonan Praperadilan kepada : Adapun yang menjadi dasar gugatan Praperadilan ini sebagai berikut : I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini. II. FAKTA HUKUM 2. Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang taat dan patuh pada hokum serta selalu bersikap baik dalam bermasyarakat di lingkungan dimana pemohon berdomisili. 3. Bahwa Pemohon merupakan Istri dari Dudi Iskandar, umur 44 Tahun, Agama Islam, Pekerjaan Guru, KTP No. 1205071101770001, Alamat Jl. Kol. Yos Sudarso Lk. IX, Kelurahan Cengkeh Turi, Kecamatan Binjai Utara, Kota Binjai Propinsi sumatera Utara (selanjutnya disebut Suami Pemohon) yang ditangkap oleh Tim Densus 88 bersama Polda Sumut dan Polres Binjai (Para Termohon) pada tanggal 13 Agustus 2021 di Jalan Klo. Yos Sudarso, Kelurahan Cengkeh Turi, Kecamatan Binjai Utara, Kota Medan Propinsi Sumatera Utara sekitar pukul 11.00 Wib. 4. Bahwa dalam kesehariannya suami Pemohon merupakan seorang Guru yang mengajar di Pesantren Yatim Dar Fatimah sejak berdirinya Pesantren Yatim Dar Fatimah tersebut sekitar Tahun 2011 dan dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai guru yang berkepribadian baik, santun, ramah dan penyanyang. 5. Bahwa pada hari Jum’at tanggal 13 Agustus 2021 sekitar pukul 11.00 Wib, Suami Pemohon telah ditangkap oleh Para Termohon Jalan KL. Yos Sudarso, Kelurahan Cengkeh Turi, Kecamatan Binjai Utara, Kota Medan Propinsi Sumatera Utara tanpa Pemohon ketahui alasan penangkapan terhadap Suami Pemohon. 6. Bahwa Pemohon dan keluarga Pemohon tidak ada diberikan surat apapun dari Para Pemohon terkait penangkapan yang dilakukan terhadap Suami Pemohon oleh Para Pemohon. 7. Bahwa Pemohon telah berupaya umtuk bertanya kepada Para Termohon terhadap alasan penangkapan Suami Pemohon yang dilakukan oleh Para Termohon akan tetapi oleh Para Termohon hanya dijawab kepada Pemohon bahwasannya mereka dari Densus, Polda Sumut dan Polres Binjai. 8. Bahwa kemudian Para Termohon mendatangi rumah Pemohon sekitar pukul 11.30 Wib dan langsung melakukan Penggeledahan dan Penyitaan terhadap barang dirumah Pemohon berupa : 9. Bahwa Penggeledahan dan Penyitaan yang dilakukan oleh Para Termohon tanpa menunjukkan dan memberikan surat Penggeledahan dan Penyitaan kepada Pemohon dan keluarganya. 10. Bahwa Pemohon tidak mengetahui alasan penangkapan terhadap suami Pemohon, alasan Penggeledahan dan Penyitaan terhadap barang-barang yang ada dirumah Pemohon bahkan Pemohon tidak mengetahui keberadaan Suami Pemohon, apakah Suami Pemohon saat ini masih bernafas atau sudah wafat karena Pemohon tidak menerima dan atau disampaikan kepada Pemohon surat resmi apapun dari Para Termohon. 11. Bahwa penangkapan oleh Para Termohon terhadap Suami Pemohon adalah sangat tidak mengedepankan prosedural penangkapan yang sangat mengedepankan Hak Asasi Manusia, tanpa menunjukkan surat tugas, surat perintah penangkapan serta tidak memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarganya. 12. Bahwa seharusnya Para Termohon mengedepankan Asas Praduga Tak Bersalah kepada Suami Pemohon, sehingga tindakan Para Termohon kepada Suami Pemohon menunjukkan bahwasannya Para Termohon tidak professional dalam menjalankan tugasnya. III. ANALISIS YURIDIS 2. Bahwa penangkapan oleh Para Termohon kepada Suami Pemohon ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan Surat Perintah Penangkapan dan atau serta tembusan Surat Perintah Penangkapan tersebut tidak diberikan kepada Pemohon dan Keluarga Pemohon, karena itu tindakan Para Termohon tersebut juga telah melanggar Pasal 37 ayat 1 huruf a, b,c dan d Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang berbunyi: 3. Bahwa berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana “Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum setelah tersangka ditangkap”. 4. Bahwa penangkapan terhadap Suami Pemohon dilakukan secara sewenang-wenang tanpa pernah sama memperdulikan Hak Asasi Manusia, mengabaikan asas Praduga Tak Bersalah dan tanpa berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. 5. Bahwa tindakan Para Termohon juga telah mengabaikan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 36 yang berbunyi : 6. Bahwa Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan : “Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangkakan melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hokum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan..” 7. Bahwa Suami Pemohon telah dibawa dan ditahan oleh Para Termohon sejak tanggal 13 Agustus 2021 sampai saat gugatan Praperadilan ini dimasukkan untuk didaftarkan dan disidangkan oleh Hakim yang Mulia tanpa Pemohon pahami kenapa Suami Pemohon ditahan oleh Para Termohon. 8. Bahwa penahanan yang dilakukan oleh Para Termohon kepada Suami Pemohon tanpa adanya Surat Perintah Penahanan yang diberikan kepada Pemohon maupun keluarga pemohon, sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 46 ayat 3 :”Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau penasihat hukum tersangka”. Dan Pasal 21 ayat 3 KUHAP yang menyebutkan “Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya”. 9. Bahwa karena Para Termohon tidak melaksanakan prosedur-prosedur yang sesuai dengan KUHAP, maka tindakan Para Termohon menunjukkan ketidakpatuhan akan hokum, padahal Para Termohon sebagai aparat Kepolisian Negara Indonesia yang seharusnya memberikan contoh kepada masyarakat. 10. Bahwa selain itu tindakan Para Termohon yang tidak sesuai prosedur dalam melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan terhadap Suami Pemohon sangat bertentangan dengan PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2019 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 yakni : Pasal 18 ayat (2) yang menyebutkan : Penyidik atau Penyidik Pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan dan surat perintah tugas. Pasal 19 berbunyi sebagai berikut : Pasal 20 menyebutkan sebagai berikut : serta Pasal 21 menegaskan sebagai berikut : 11. Bahwa dalam perkembangannya Praperadilan telah menjadi fungsi control Pengadilan terhadap jalannya Peradilan sejak tahap penyelidikan khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan penangkapan, sehingga oleh karenanya tindakan tersebut patut dikontrol oleh Pengadilan dengan menyatakan bahwa Penangkapan oleh Para Termohon kepada Suami Pemohon adalah TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KUHAP. Dengan demikian, jika seandainya menolak Permohonan Praperadilan a-quo ini, penolakan itu sama saja dengan MELETIGIMASI PENANGKAPAN YANG TIDAK SAH YANG DILAKUKAN PARA TERMOHON KEPADA SUAMI PEMOHON DAN MELETIGIMASI KETIDAKPATUHAN PARA TERMOHON KEPADA HUKUM SERTA PELANGGARAN HAK ASASI YANG DILAKUKAN PARA TERMOHON KEPADA SUAMI PEMOHON. IV. PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN TERHADAP SUAMI PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM 13. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. 14. Bahwa dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. 15. Bahwa Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’ V. PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN YANG TDAK SAH SECARA HUKUM MENIMBULKAN KERUGIAN BAGI PEMOHON. 17. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas dihubungkan dengan hak-hak Pemohon, menurut KUHAP, pasal 81, 95 ayat (1), 97 ayat (3) KUHAP serta jaminan prosedur yudisial guna pemenuhan kerugian-kerugian serta pemulihan atau rehabilitasi atas tercemarnya nama baik Suami Pemohon dan keluarga di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana dikehendaki oleh pasal 9 ayat (5) Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Tentang Hak sipil Politik yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak atas kompensasi yang dapat diberlakukan.” 18. Bahwa akibat perbuatan sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan/penahanan terhadap Suami Pemohon telah menimbulkan kerugian baik kerugian materil maupun kerugian im-materil, maka oleh sebab itu Pemohon dalam hal ini merinci jumlah kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan sewenang-wenang oleh Para Termohon, sebagai berikut: Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mohon kiranya segera diadakan sidang praperadilan terhadap Para Termohon sesuai dengan hak-hak Pemohon, sesuai dengan pasal 79 jo 78 jo 77 KUHAP, kami meminta: Selanjutnya melalui pengadilan ini, mohon diberikan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut: Apabila Pengadilan Negeri Binjai berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
|
||||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |