INFORMASI DETAIL PERKARA
Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
3/Pid.Pra/2023/PN Bnj | Edi Suranta | 1.KEPALA KEPOLISIAN Negera Republik Indonesia, cq Kepala Kepolisian Daerah Suamtera Utara, cq Kepala Kepolisian Resor Binjai 2.KAPOLRES KOTA BINJAI 3.Benjamin Silaban, S.Tr. K 4.Gerry Johannes N.P |
Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Senin, 05 Jun. 2023 | ||||||||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||||||||
Nomor Perkara | 3/Pid.Pra/2023/PN Bnj | ||||||||||
Tanggal Surat | Senin, 05 Jun. 2023 | ||||||||||
Nomor Surat | 3/Pid.Pra/2023/PN Bnj | ||||||||||
Pemohon |
|
||||||||||
Termohon |
|
||||||||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||||||||
Petitum Permohonan | Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Binjai
di,
Binjai
Perihal : Permohonan Praperadilan Penetapan
Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan
Yang bertanda tangan dibawah ini:
1. Andrew Sidabutar, S.H,
2. Irwansyah Putera, S.H,
3. Zakaria Arisman, S.H,
Ketiganya adalah Advokat/Penasehat Hukum dari Andrew Sidabutar & Partners Beralamat Jalan Bunga Kantil XIX No. 5, Kelurahan Padang Bulan II, Kecamatan Medan Selayang II, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (20131)- 082360695798/081375981400. Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 30 Mei 2023 (Terlampir). Untuk dan karenanya telah sah bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan hukum Pemberi Kuasa selaku Klien Kami:
Nama : Edi Suranta, Laki-laki, Umur 37 Tahun, Warga Negara Indonesia, Pekerjaan Wiraswasta, beralamat di Jalan Gunug Singgalang Lk. V, Desa Tanah Merah, Kecamatan Binjai Selatan, Kota Binjai, Provinsi Sumatera Utara.
Untuk selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------- Pemohon Praperadilan ;
Dengan ini mengajukan Praperadilan;
M E L A W A N
1. Pemerintah Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Cq. Kepala Kepolisian Resor Binjai dalam hal ini HENDRICK SITUMORANG, S.H, S.I.K, M.Si, Pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi, NRP: 77020804, Jabatan KAPOLRES KOTA BINJAI, beralamat di Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 1, Satria, Kecamatan Binjai Kota, Kota Binjai, Sumatera Utara 20741,
Untuk selanjutnya disebut sebagai ----------------------------- Termohon Praperadilan I ;
2. Kepala Satuan Reserse Kriminal dalam hal ini M. Rian Permana, S.I.K, pangkat Ajun Komisaris Polisi, NRP.91080221, beralamat di Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 1, Satria, Kecamatan Binjai Kota, Kota Binjai, Sumatera Utara 20741
Untuk selanjutnya disebut sebagai ---------------------------- Termohon Praperadilan II ;
3. Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu dalam hal ini Benjamin Silaban, S.Tr. K, pangkat Inspektur Dua Polisi, NRP.98010910, beralamat di Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 1, Satria, Kecamatan Binjai Kota, Kota Binjai, Sumatera Utara 20741
Untuk selanjutnya disebut sebagai -------------------------- Termohon Praperadilan III ;
4. Penyidik Pembantu dalam hal ini Gerry Johannes N.P, pangkat Brigadir Satu Polisi, NRP. 96110466, beralamat di Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 1, Satria, Kecamatan Binjai Kota, Kota Binjai, Sumatera Utara 20741,
Untuk selanjutnya disebut sebagai -------------------------- Termohon Praperadilan IV ;
Adapun dalil-dali Pemohon dalam Permohonan Praperadilan adalah sebagai berikut:
A. PENDAHULUAN
Permohonan Praperadilan Pemohon ajukan sebagai bentuk pengujian sejauh mana Kepolisian berkomitmen dalam melaksanakan supremasi hukum berdasarkan fakta-fakta peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat. Bahwa sesuai dengan perintah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, keberadaan Kepolisian diharapakkan dapat menunjukkan sikap transparansi dalam penegakan hukum. Kepolisian juga diharapkan dapat mengimplentasikan hukum sesuai dengan fakta-fakta peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat.
Merujuk pada fungsinya sebagai mana bunyi Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian harus memberikan rasa kenyamanan tanpa diskriminasi terhadap masyarakat, sehingga tidak semena-mena melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Seyogiyanya Kepolisian dalam melakukan penegakan hukum tidak boleh mendapatkan intevensi dari pihak manapun, hal ini semata-mata keberadaan Polisi adalah bukan sebagai alat akan tetapi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Bahwa dalam prakteknya Kepolisian Resor Binjai (Termohon Praperadilan) telah gagal melakukan penegakan hukum, dimana Para Termohon Praperadilan menggunkan hukum sebagai alat untuk mediskriminasikan masyarakat sebagai pelaku tindak pidana tanpa adanya bukti yang konkrit serta perlakuan yang semena-mena. Bahwa dalam Permohonan Praperadilan ini, Termohon Praperadilan telah salah menetapkan Pemohon menjadi tersangka tanpa adanya bukti maupun keterangan saksi yang dapat membuktikan peristiwa hukum yang disangkakan Termohon Praperadilan. Atas tindakan Termohon sangat melukai rasa keadilan sekaligus membuktikan praktek diskriminasi hukum di negeri ini. Sehingga dengan adanya Permohonan Praperadilan, Pemohon Praperadilan berharap Majelis Hakim melalui keilmuanya di Bidang Hukum dapat memeriksa dan memutus perkara dengan cara independent dan/atau tanpa intervensi pihak manapun.
Praperadilan ini akan menjadi ujian sejarah bangsa kita apakah keadilan hukum di bumi pertiwi ini masih berlaku ataukah justru kekuasaan yang menjadi panglima mengangkangi hukum itu sendiri;
B. DASAR HUKUM PRAPERADILAN
Bahwa menurut Pasal 1 Ayat (3) UUD RI 1945 menyebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum, yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel), sehingga segala sesuatu itu harus berdasarkan hukum, hal ini untuk menghindari perbuatan semena-mena dari apara penegak hukum;
Bahwa menurut Pasal 28D UUD 1945, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Bahwa pasal ini bermakna bahwa adalah merupakan hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat;
Bahwa menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011, halaman 30 menyatakan, “...filosofi diadakannya pranata Praperadilan yang justru menjamin hak-hak Tersangka/Terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia”. Dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada hakekatnya Praperadilan itu adalah untuk menjamin hak Tersangka, dari kesewenang-wenangan yang mungkin dan dapat dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum, sejak dilakukan penyelidikan sampai ditetapkan sebagai Tersangka ;
Bahwa pengajuan Permohonan Praperadilan oleh Tersangka berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP. Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh Aparat Penegak Hukum seperti Penyelidik dan/atau Penyidik termasuk dalam penetapan Tersangka. Pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyelidikaan, penyidikan sangat penting karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka, maka Aparat Penegak Hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia.
Bahwa sebagai upaya hukum untuk mencegah agar Aparat Penegak Hukum tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam melaksanakan kewenangannya maka diperlukan lembaga yang dapat melakukan pengawasan horizontal terhadap Aparat Penegak Hukum. Oleh karena itu pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum termasuk dalam penetapan Tersangka dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Untuk mengukur wewenang tersebut digunakan menurut ketentuan undang-undang dapat dilihat dari tujuan Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 Angka 5 KUHAP yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dan tujuan Penyidikan berdasarkan Pasal 1 Angka 2 KUHAP yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
Bahwa pengujian keabsahan proses penyelidikan, penyidikan dan penetapan Tersangka melalui lembaga Praperadilan, patut dilakukan karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka maka sejak itu pula segala upaya paksa dapat dilakukan terhadap seorang Tersangka dan harta kekayaan tersangka, dengan alasan untuk kepentingan penegakan hukum. Oleh karena penetapan Tersangka merupakan bagian akhir dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses Penyidikan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 Angka 2 KUHAP, maka penetapan tersangka tersebut perlu diuji kebenaran atau keabsahannya.
Bahwa secara hukum lembaga berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Peradilan Umum melalui Permohonan Praperadilan. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan penetapan status Tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar-dasar dari tindakan Penyelidik, Penyidik (Aparat Penegak Hukum ) yang sewenang-wenang melakukan upaya paksa terhadap diri Tersangka. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya penetapan Tersangka, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum terhadap seorang warga Negara;
Bahwa dalam praktik hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014,tanggal 28 April 2015 secara tegas menyatakan bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan. Dengan demikian maka Permohonan Pemohon untuk menguji keabsahan penetapan Pemohon sebagai Tersangka melalui praperadilan adalah sah menurut hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi “Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum”; (Putusan MK hal 105-106)
Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, maka pada hakekatnya hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia telah secara tegas mengatur adanya lembaga koreksi atas penetapan seseorang sebagai Tersangka. Dengan kata lain, menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, adalah merupakan hak asasi seorang untuk menguji sah atau tidak sahnya ketika ditetapkan sebagai Tersangka. Apalagi jika terjadi kesalahan dilakukan oleh penyidik in casu Para Termohon dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka, dalam hal ini adalah Pemohon, maka adalah merupakan hak seorang warga negara untuk melakukan koreksi atas penetapannya sebagai tersangka in casu Pemohon;
Bahwa Koreksi ini dilakukan untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan/ kesewenangan yang mungkin secara sengaja atau karena lalai dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (Para Termohon Praperadilan) dalam hal ini Penyidik atau Kepolisian Resor Kota Binjai c/q Kanitreskrim Polres Binjai. Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolak upaya koreksi atas kesalahan Aparat Penegak Hukum (Para Termohon) yang melanggar hak asasi manusia hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas, berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,yang menyatakan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”;
Bahwa berdasarkan argumentasi yuridis tersebut di atas, maka kewenangan dari Pengadilan Negeri Binjai melalui Permohonan Praperadilan untuk menilai sah atau tidak sahnya penetapan Tersangka dan Penangkapan. Oleh karena itu Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Pemohon beralasan dan menurut hukum;
C. LEGAL STANDING PEMOHON PRAPERADILAN
Bahwa Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bahwa berdasarkan Pasal 80 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.” Dalam kaitannya dengan kedudukan Pemohon Praperadilan, pengajuan permohonan praperadilan perkara a quo diajukan oleh tahanan Polres Binjai yang notabene adalah representasi masyarakat pencari keadilan yang apabila dikaitkan dengan bunyi Pasal 80 KUHAP dapat diklasifikasikan sebagai Pihak Ketiga yang berkepentingan. Dengan demikian Pemohon dalam perakara a quo memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan praperadilan ini.
Bahwa Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 Sebagaimana asas equality before the law yang tersirat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Tindakan Presiden memutihkan dan tidak meneruskan perkara pidana Pemohon Praperadilan (Edi Suranta) tentu sangat melukai Pencari Keadilan khususnya tahanan Polres Binjai karena telah terjadi diskriminasi perlakuan hukum melanggar Pasal 27 UUD 1945 mengenai persamaan perlakuan didepan hukum (prinsip equality before the law) sekaligus melanggar sumpah presiden untuk melaksanakan dan menerapkan pelaksanaan hukum tanpa diskriminasi.
Bahwa Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan: “Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”;
Bahwa berdasarkan aturan diatas kedudukan (legal standing) Pemohon Praperadilan telah terpenuhi dan berhak maju untuk melakukan pengujian terhadap tindakan-tindakan yang tidak berdasar hukum oleh Para Termohon Praperadilan dalam merampas kemerdekaan Pemohon Praperadilan ;
D. POKOK PERKARA PRAPERADILAN
1. Fakta Hukum Locus Delicti dan Tempus Delicti
Bahwa Pemohon Praperadilan pada pokoknya menolak dan membantah seluruh tuduhan yang disangkakan Termohon Praperadilan atas diri Pemohon Praperadilan, karena pada faktanya tuduhan Termohon Praperadilan tidak benar dan tidak berdasar hukum serta tuduhannya penuh rekayasa serta fitnah kepada diri Pemohon Praperadilan;
Bahwa Pemohon Praperadilan sejatinya tidak pernah melakukan tindak pidana sebagaimana Termohon Praperadilan sangkakan mengenai pelanggaran Pasal 187 KUHP secara tunggal, hal ini dapat Pemohon Praperadilan buktikan melalui bukti-bukti maupun keterangan saksi dalam persidangan ini, sehingga atas dasar tuduhan ini Pemohon Praperadilan sangat keberatan ;
Bahwa tuduhan ini bermula pada peristiwa hukum hari Selasa 21 Maret 2023 di Jalan Gunung Singgalang Kelurahan Bhakti Karya, Kecamatan Binjai Selatan, Kota Binjai telah terjadi kerumunan masyarakat yang disinyalir akan terjadinya bentrok antar warga, hal ini dikarenakan sepanjang Jalan Gunung Singgalang menuju Kampung Begulda Kelurahan Tanah Merah terdapat 3 (tiga) titik gerombolan masyarakat Bhakti Karya, sehingga untuk menghindari terjadinya bentrok dikerahkan Aparat Kepolisian dari Polres Binjai dan Polsek Binjai Selatan untuk menjaga, karena dimungkinkan akan terjadi bentrok disepanjang Jalan Gunung Singgalang oleh Gerombolam Masyarakat Bhakti Karya terhadap Masyarakat Begulda Kelurahan Tanah Merah ;
Bahwa pada pukul 15:00 WIB hari Selasa 21 Maret 2023 Pemohon Praperadilan tidak ada melakukan tindakan yang melanggar hukum, dikarenakan posisi Pemohon Praperadilan sedang berboncengan dengan istrinya melintasi Jalan Gunung Singgalang menuju kampung Begulda Kelurahan Tanah Merah, pada saat melintasi Jalan Gunung Singgalang Permohon Praperadilan bertemu Saudara Nanus serta mengajaknya untuk pulang ke Kampung Beguldah ;
Bahwa pada saat melintasi Jalan Gunung Singgalang Pemohon Praperadilan dan Saudara Antonius alias Nanus sempat berhenti karena melihat adanya Gerombolan I Masyarakat Bhakti Karya telah dipersenjatai dengan parang dan sejenisnya, namun karena merasa tidak memiliki masalah pribadi dengan Masyarakat Bhakti Karya Pemohon Praperadilan dan Saudara Julianus Sitepu alias Nanus melintasi Gerombolan I Masyarakat Bhakti Karya dengan baik ;
Bahwa akan tetapi pada saat melewati Gerombolan II Masyarakat Bhakti Karya Pemohon Praperadilan dan Saudara Julianus Sitepu alias Nanus mendengar adanya teriakan “PENGHIANAT” dari Masyarakat Bhakti Karya, sehingga atas terikan tersebut terjadi tindak kekerasan yang dialami Saudara Julianus Sitepu alias Nanus yang dilakukan Masyarakat Bhakti Karya di antara Gerombolan II Masyarakat Bhakti Karya dan Gerombolan III Masyarakat Bhakti Karya, sedangkan Pemohon Praperadilan yang posisinya berada di depan Saudara Saudara Julianus Sitepu alias Nanus tidak mendapatkan kekerasan, dari Masyarakat Bhakti Karya ;
Bahwa setelah Pemohon Praperadilan melewati Gerombolan III Masyarakat Bhakti Karya sekitar ±200 M, Pemohon Praperadilan berhenti melihat kebelakang telah terjadi kekerasan disertai pembacokan dengan senjata tajam kepada Saudara Julianus Sitepu alias Nanus, sehingga melihat kondisi Saudara Julianus Sitepu alias Nanus Pemohon Praperadilan melanjutkan perjalanannya disertai dengan terikan minta tolong kepada Masyarakat Beguldah, untuk memberikan pertolongan kepada Saudara Julianus Sitepu alias Nanus ;
Bahwa Pemohon Praperadilan masih melanjutkan perjalanan menuju rumah orantuanya guna mengantarkan istrinya yang sedang hamil dan setelah mengantarkan istrinya dirumah orang tuanya, Pemohon Praperadilan kembali ke warung Imanta bersama warga Beguldah guna melihat kondisi Saudara Julianus Sitepu alias Nanus akan tetapi Saudara Julianus Sitepu alias Nanus telah dibawa kerumah sakit oleh Masyarakat Beguldah dnegan menggunakan jalan alternatif guna menghindari Gerombolan Masyarakat Bhakti Karya di sepanjang Jalan Gunung Singgalang ;
Bahwa setelah peristiwa pembacokan tersebut seluruh warga Begulda Kelurahan Tanah Merah tidak ada yang berani melintasi atau berada disepanjang Jalan Gungung Singgalang termasuk Pemohon Praperadilan sampai malam hari, sehingga akibat peristiwa hukum tersebut telah dibuat Laporan Polisi Nomor:LP/B/166/III/2023/SPKT/POLRES BINJAI/POLDA SUMATERA UTARA tanggal 21 Maret 2023 ;
Bahwa pada saat berkumpul Pemohon Praperadilan dengan masyarkaat Beguldah, Pemohon Praperadilan mendengar adanya pembakaran di sepanjang Jalan Gunung Singgalang. Terhadap peristiwa tersebut Pemohon Praperadilan sama sekali tidak ada melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan atau memancing keributan ;
Bahwa alangkah terkejutnya Pemohon Praperadilan pada hari Selasa malam 23 Mei 2023 Termohon Praperdilan melakukan penangkapan atas diri Pemohon Praperadilan dengan tuduhan melakukan tindak pidana pembakaran pada tanggal 21 Maret 2023 di Jalan Gunung Singgalang, Kelurahan Bhkati Karya, Kecamatan Binjai Selatan, Kota Binjai ;
Bahwa tuduhan itu disampaikan oleh Saudara Roni B Sembiring selaku Polisi yang ditugaskan dari Polsek Binjai Selatan diantara gerombolan masyarakat Bhakti Karya yang berdada di sepanjang Jalan Gunung Singgalang, sehingga atas tuduhan tersebut merupakan suatu fitnah keji dan perbuatan dzalim kepada diri Pemohon Praperadilan, dimana faktanya Pemohon Praperadilan sendiri tidak ada melakukan tindakan melanggar hukum bahkan Pemohon Praperadilan bukan perokok, sehingga tidak memungkinkan dapat melakukan pembakaran diantara gerombolan masyarakat Bhakti Karya ;
Bahwa dalam laporannya Saudara Roni B Sembiring tidak dapat merincikan jenis kendaraan serta surat-surat kelengkapan kendaraan sebagai barang yang dijamin undang-undang legalitasnya, maka dalam laporannya Saudara Roni B Sembiring tidak dapat menunjukkan bukti permulaan sebagai alasan penetapan Pemohon Praperadilan sebagai Tersangka/ pelaku tindak pidana pembakaran ;
Bahwa rentetan peristiwa yang terjadi pada hari Selasa tanggal 21 Maret 2023 di sepanjang Jalang Gunung Singgalang tidak singkronisasi dengan peristiwa pidana yang dituduhkan kepada Pemohon Praperadilan, dimana tuduhan itu terdapat rekayasa serta adanya upaya semena-mena dan kedzaliman Termohon Praperadilan serta Laporan Saudara Roni B Sembiring yang menyampaikan fitnah atas diri Pemohon Praperadilan;
2. Proses Hukum Yang Tidak Berdasar
Bahwa Pemohon Praperadilan menolak dan membatah dengan tegas selaga upaya penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon Praperadilan, sebagai pelaku tindak pidana pembakaran ;
Bahwa penetapan tersangka yang dilakukan Termohon Praperadilan sejatinya tidak berdasar hukum, hal ini karenanya Pemohon Praperadilan tidak pernah diperiksa sebagai saksi atas peristiwa Pembakaran yang Termohon Praperadilan tuduhkan, bahwa Pemohon Praperadilan belum pernah menerima Surat Pemeberitahuan Pemeriksaan Hasil Penyelidikan (SP2HP) dari Termohon Praperadilan ;
Bahwa pada hari Selasa malam tanggal 23 Mei 2023 di tempat kerja Pemohon Praperadilan di Rumah Dinas Wali Kota Binjai, Termohon Praperadilan telah melakukan penangkapan dan membawa paksa Pemohon Praperadilan EDI SURANTA sebagai tahanan Polda Sumut, tanpa memperlihatkan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan kepada Pemohon Praperadilan ;
Bahwa pada saat penangkapan tersebut Termohon Praperadilan juga melakukan tindakan pengeladahan dan penyitaan barang milik Pemohon Praperadilan, dimana atas tidankan tersbeut Termohon Praperadilan tidak ada memperlihatkan Surat Pengeledahan yang disetuji Pengadilan, sehingga segala upaya dan tindakan Termohon Praperadilan disinyalir sebagai perbuatan perampasan hak asasi manusia, sehingga sangat beralasan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Binjai mengabulkan Permohonan Praperadilan ;
Bahwa Termohon Praperadilan datang dengan baju preman dengan melakukan penangkapan dan pengamanan langsung kepada Pemohon Praperadilan tanpa memberitahu maksud dan kepentinganya melakukan penangkapan Pemohon Praperadilan dan pada saat penangkapan tidak ada satupun surat yang ditunjukkan kepada Pemohon Praperadilan, sehingga atas tindakan yang tidak berdasar hukum tersebut sangat mencedarai rasa keadilan dan supremasi hukum di Kota Binjai oleh Termohon Praperadilan ;
Bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan Termohon Praperadilan kepada Pemohon Praperadilan tanpa adanya bukti permulaan yang cukup pada saat penangkapan telah terjadi Pelanggaran Peraturan Kepada kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pada Pasal 36 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) dan belum adanya mekanisme gelar perkara melanggar Perkap No. 14 tahun 2012 Pasal 45 ayat (1), (2);
Bahwa Pasal 36 Ayat yaitu : Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
(1) Adanya bukti permulaan yang cukup; dan
(2) Surat perintah penangkapan hanya dapat dibuat berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup dan hanya berlaku terhadap satu orang tersangka yang identitasnya tersebut dalam surat perintah penangkapan;
Bahwa Pasal 45 Ayat menyebutkan :
(1) Penahanan wajib dilengkapi surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik;
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui mekanisme gelar perkara ;
Bahwa menurut ketentuan hukum (Pasal 18 KUHAP), pelaksanaan penangkapan yang dilakukan oleh petugas Kepolisian hanya sah menurut undang-undang apabila memenuhi syarat-syarat, yaitu :
a. Dengan menunjukkan surat tugas penangkapan yang dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu;
b. Dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkatan mengenai kejahatan yang dipersangkakan terhadap tersangka, dan mengenai tempat dimana tersangka akan diperiksa;
c. Surat perintah penangkapan, harus dikeluarkan oleh pejabat kepolisian yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya;
d. Dengan menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka, yakni segera setelah penangkapan dilakukan; Bahwa apabila tidak dipenuhi ketentuan Pasal 18 KUHAP dalam pelaksanaan penangkapan, maka penangkapan tersebut menjadi bertentangan dengan hukum, oleh karenanya tersangka atau keluarganya berhak mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan mengani sah tidaknya penangkapan dan penahanan (vide Pasal 79 KUHAP);
Bahwa ternyata penangkapan yang dilakukan oleh Para Termohon Praperadilan terhadap diri Pemohon Praperadilan EDI SURANTA, tidak dilengkapi dengan Surat Tugas, Surat Perintah Penangkapan dan Surat Pemberitahuan Penangkapan kepada keluarga tersangka, sebagaimana maksud Pasal 18 KUHAP, Telah melanggar ketentuan Pasal 1 point 22, 23, Pasal 10 Ayat (1) huruf b point : 14, 15, 23, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, Pasal 15 huruf c, Pasal 26 huruf b, c, d, e, Pasal 33, Pasal 36 Ayat (1) huruf a, (2), Pasal 37 Ayat (1) huruf a, b, c, d, Pasal 45 Ayat (1), (2), (3), Pasal 55 ayat (1), (2), Pasal 56 ayat (1), (2), Pasal 57 ayat (1), (3), Pasal 58 ayat (2), (3), Pasal 59 Peraturan Kepada kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana;
a. Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan : (point) : 22. Bukti yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penahanan; 23. Alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa;
b. Pasal 10 (1) Administrasi penyidikan merupakan penatausahaan dan segala kelengkapan yang diisyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban, kelancaran dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupuan pengawasan Penyidikan, meliputi : b. Isi berkas perkara, meliputi :
1) Point 14. surat perintah penangkapan;
2) Point 15 berita acara penangkapan;
3) Point 23. surat perintah penahanan;
4) Point 37 surat permintaan izin/izin khusus penggeledahan kepada ketua pengadilan;
5) Point 38. surat perintah penggeledahan;
6) Point 39. surat permintaan persetujuan penggeledahan kepada ketua pengadilan;
7) Pasal 40. berita acara penggeledahan rumah tinggal/tempat tertutup lainnya;
8) Point 41. surat permintaan izin/izin khusus penyitaan kepada ketua pengadilan;
9) Point 42. surat permintaan persetujuan penyitaan kepada ketua pengadilan; 43. surat perintah penyitaan;
10) Point 44. berita acara penyitaan;
c. Pasal 15 Kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi : c. Upaya paksa;
d. Pasal 26 Upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi : b. Penangkapan; c. Penahanan; d. Penggeledahan; e. Penyitaan, dan;
e. Pasal 33 Ayat (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup; (2) Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik; (3) Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum setelah tersangka ditangkap; (4) Prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undagan;
f. Pasal 36 Ayat (1) Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Adanya bukti permulaan yang cukup, dan; (2) Surat perintah penangkapan hanya dapat dibuat berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup, dan hanya berlaku terhadap satu orang tersangka yang identitasnya tersebut dalam surat perintah penangkapan;
g. Pasal 37 Ayat (1) Dalam hal melakukan penangkapan, setiap penyidik wajib : a. Memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri; b. Menunjukkan surat perintah penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan; c. Memberitahukan alasan penangkapan dan hak-hak tersangka; d. Menjelaskan tindak pudana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan;
h. Pasal 45 Ayat (1) Penahanan wajib dilengkapi surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik; (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui mekanisme gelar perkara; (3) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau penasihat hukum tersangka;
i. Pasal 55 Ayat (1) Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap badan/pakaian dan rumah/tempat lainnya; (2) Penyidik yang melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik;
j. Pasal 56 Ayat (1) Setelah penggeledahan dilakukan, penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara penggeledahan yang ditandatangani oleh tersangka atau keluarganya atau orang yang menguasai tempat yang digeledah atau orang yang diberi kuasa;
k. Pasal 57 Ayat (1) Penggeledahan rumah/alat angkutan serta tempat-tempat tertutup lainnya hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat; (3) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disaksikan oleh Ketua RT/RW atau tokoh masyarakat setempat atau orang yang bertanggung jawab/menguasai tempat tersebut;
l. Pasal 58 Ayat (2) Setelah dilaksanakan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik/penyidik pembantu wajib segera membuat berita acara penggeledahan dan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat tentang pelaksanaan penggeledahan untuk memperoleh persetujuan penggeledahan; (3) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disaksikan oleh Ketua RT/RW atau tokoh masyarakat setempat atau orang yang bertanggung jawab/menguasai tempat tersbut;
m. Pasal 59 Ayat (1) Penggeledahan terhadap badan/pakaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib :
1) Memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas dan dilakukan dengan sopan;
2) Meminta kesediaan orang untuk digeledah dan meminta maaf atas terganggunya hak privasinya;
3) Menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan;
4) Melakukan penggeledahan secara cermat dan teliti untuk mencari/mendapatkan bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana;
5) Memperhatikan dan menghargai hak-hak orang yang digeledah;
6) Melaksanakan penggeledahan terhadap perempuan oleh petugas perempuan;
7) Melaksanakan penggeledahan dalam waktu yang secukupnya;
8) Menyampaikan terima kasih atas terlaksananya penggeledahan dan;
9) Setelah melakukan penggeledahan, penyidik segera membuat berita acara penggeledahan;
Bahwa dalam perkembangannya Praperadilan telah menjadi fungsi kontrol Pengadilan terhadap jalannya Peradilan sejak tahap penyelidikan khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan, sehingga oleh karenanya tindakan tersebut patut dikontrol oleh Pengadilan dengan menyatakan bahwa Penetapan Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan yang dilakukan oleh Termohon Praperadilan kepada Pemohon Praperadilan adalah TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN KUHAP;
Bahwa dengan demikian berdasarkan uraian hukum di atas, Penetapan Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan oleh Termohon Praperadilan terhadap Pemohon Praperadilan, EDI SURANTA adalah merupakan tindakan sewenang-wenang yang sangat bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan merupakan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Tersangka yang sangat dijunjung tinggi dalam KUHAP. Sehingga, beralaskan hukum untuk dimohonkan untuk segera dikeluarkan dan dimerdekakan dari tangan Termohon Praperadilan;
Bahwa berdasarkan uraian Pemohon Praperadilan termaksud diatas, maka sudah sewajarnya dan patut menurut hukum bagi Ketua Pengadilan Negeri Binjai Cq. Yang Mulia Hakim yang mengadili perkara praperadilan ini, untuk membatalkan Penetapan Tersangka, membatalkan Penangkapan, dan membatalkan Penahanan, serta memerintahkan Termohon Praperadilan untuk mengembalikan Pemohon Praperadilan kepada keluarga dengan memperbaiki citra Pemohon Praperadilan;
Maka Pemohon Praperadilan memohon kepada Yang Mulia Hakim Pra-peradilan Pengadilan Negeri Binjai dapat dan berkenan memutus perkara sebagai berikut:
1. Mengabulkan seluruh permohonan Pemohon Praperadilan;
2. Menyatakan Penetapan Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan Pemohon Praperadilan sebagai Tersangka Tidak Sah;
3. Menyatakan tidak berkekuatan hukum segala surat yang dikeluarkan Termohon Praperadilan atas diri Pemohon Praperadilan ;
4. Memerintahkan kepada Termohon Praperadilan untuk menghentikan penyidikan perkara a quo terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon Praperadilan; ;
5. Memulihkan hak-hak Pemohon Praperadilan dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat Pemohon Praperadilan ;
6. Menghukum Termohon Praperadilan untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini menurut ketentuan hukum yang berlaku;
Dan/atau
Yang Mulia berpendapat lain, mohon putusan yang patut dan seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Demikian Permohonan Praperadilan ini diajukan dengan sebenarnya, atas kesudian Majelis Hakim yang terhormat untuk mengabulkannya kami ucapkan terima kasih.
|
||||||||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |