Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
5/Pid.Pra/2024/PN Bnj | AGUSTIANTO, S.PD | Kepala Kepolisian Resor Binjai | Pemberitahuan Putusan |
Tanggal Pendaftaran | Kamis, 14 Nov. 2024 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penangkapan | ||||
Nomor Perkara | 5/Pid.Pra/2024/PN Bnj | ||||
Tanggal Surat | Kamis, 14 Nov. 2024 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Adapun permohonan Praperadilan ini kami bagi dalam bentuk dan susunan sebagai berikut: I. Pendahuluan; II. Dasar hukum permohonan; III. Alasan Permohonan Praperadilan IV. Permohonan (Petitum)
I.
Bahwa, AV Dicey merumuskan Negara hukum (rule of law) dengan tiga ciri yakni adanya supremasi hukum, persamaan di hadapan hukum, dan due process of law. Penekanan terhadap pentingnya supremasi hukum sebagai salah satu unsur dalam Negara Hukum mengingatkan kita khususnya terhadap aparatur penegak hukum dalam hal ini adalah pihak kepolisian, agar setiap upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan haruslah dilakukan dalam koridor hukum dan Hak Asasi Manusia. Bahwa, perlindungan Hak Asasi Manusia pulalah yang melatarbelakangi lahirnya mekanisme lembaga Praperadilan untuk melindungi Hak-Hak Tersangka agar tidak terlanggar (habeas corpus) ketika berhadap-hadapan secara langsung dengan pihak kepolisian yang mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Bahwa selanjutnya terkait kewenangan atau kekuasaan, menurut Lord Acton seorang intelektual berkebangasaan Inggris, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely “. Maka, ketika kekuasaan polisi menjadi korup, ”habeas corpus” sebagai konsepsi perlindungan terhadap hak-hak tersangka akan sangat mudahnya terlanggar dan kita hanya dapat berharap terhadap lembaga Praperadilan yang mulia ini. Bahwa mengingat adagium di atas kita kembali diingatkan oleh salah satu putusan Yurisprudensi Praperadilan dalam perkara tindak pidana melarikan anak di bawah umur melalui putusannya nomor: 06/Pid.Prap/2014/PN.JKT-Sel mengenai kesewenang-wenangan polisi dengan dikutip sebagaimana berikut:
“ Hampir serupa dengan perkara dugaan tindak pidana pemerasan dan ancaman di atas, PEMOHON diduga merupakan korban kesewang-wenangan polisi yang dimana PEMOHON ditangkap tanpa disertai Surat Penangkapan dan Surat Tugas dari TERMOHON yang hingga kini kemerdekaannya telah dirampas dalam tahanan TERMOHON. Konsekuensinya PEMOHON harus meninggalkan keluarganya. Maka, demi tegaknya Habeas Corpus kami berharap terhadap lembaga Praperadilan yang mulia ini untuk memulihkan kembali hak-hak PEMOHON. Karena kami percaya, lembaga Praperadilan merupakan benteng terakhir keadilan bagi setiap tersangka yang hak-haknya dilanggar akibat besarnya kekuasaan polisi.
II.
2) Bahwa perlu dipahami Hukum Acara Pidana justru lahir sebagai bentuk pengejawantahan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Hukum Acara Pidana tersebut senantiasa harus sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia; 3) Mengutip bagian menimbang huruf a dan c Hukum Acara Pidana menyatakan; a. Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undanga Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; b. Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan sarana fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945; 4) Bahwa perlindungan terhadap hak-hak seorang Tersangka juga tercantum di dalam International Covenant on Civil and Political Rights pasal 14 ayat (3) huruf a yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan: “Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya”; 5) Di dalam pasal 2 angka 3 huruf a dan b juga menyatakan: ”a) menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; b) Menjamin bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-hak nya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan”; 6) Bahwa pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemerikasaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”; 7) Bahwa salah satu sarana jaminan perlindungan hak-hak seseorang yang berstatus Tersangka di dalam KUHAP disediakannya sarana kontrol secara horizontal terhadap aparat penegak hukum melalui lembaga Praperadilan; 8) Bahwa lembaga Praperadilan lahir dari semangat Hak Habeas Horpus yang dikenal dalam Sistem Peradilan Anglo Saxon, yang berkomitmen untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara khususnya hak kemerdekaan; 9) Menurut Larry May di dalam bukunya yang berjudul “Global Justice and Due Process” menyatakan bahwa: “Second is what came to be called the right of habeas corpus-the right not to be arbitrarily imprisoned”; 10) Bahwa perlu dipahami prinsip dasar dibentuknya lembaga Praperadilan adalah menyediakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan hukum dalam menggunaan wewenangnya untuk melakukan upaya paksa yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh pihak penyidik dan penutut umum dalam rangka pencarian alat bukti tentang adanya dugaan/sangkaan kepada seseorang sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana. Pondasi pengujian pengunaan wewenang ini adalah asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagai asas pokok dalam penyelenggaraan peradilan pidana; 11) Dengan demikian dapat dipahami bahwa semangat atau spirit yang terkandung di dalam KUHAP terkait eksistensi lembaga Praperadilan tidak lain adalah menyediakan mekanisme kontrol horizontal yang dilakukan oleh warga negara itu sendiri terhadap perbuatan aparat penegak hukum yang kerap sewenang-wenang terhadap Tersangka guna perlindungan Hak Asasi Manusia seluas-luasnya. Hal tersebut juga untuk mengantisipasi seperti apa yang dikatakan oleh Lord Acton seorang intelektual berkebangsaan Inggris, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely “ 12) Bahwa di dalam KUHAP pengaturan kewenangan Lembaga Praperadilan itu sendiri terdapat di BAB X Wewenang Pengadilan Untuk Megadili pasal 77 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang dalam undang-undang ini tentang: 13) Bila hanya sekedar membaca secara tekstual ketentuan a quo tanpa mempertimbangkan semangat perlindungan hak asasi manusia di dakam KUHAP berikut dengan eksistensi lembaga Praperadilan yang dibangun memang secara khusus untuk menguji setiap perbuatan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum (abuse of power) maka, tentunya kita akan terjebak di dalam lingkaran positivisme yang menegasikan inti daripada hukum itu sendiri yakni keadilan substantif; 14) Mengutip pendapat John Rawls di dalam bukunya Luhut M.P Pangaribuan yang berjudul “Lay Judges dan Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia” menyatakan bahwa: “Tetapi bila dalam prosedur atau keteraturan itu juga terfasilitasi harapan masyarakat melalui ketidakberpihakan aparatur dan adanya lembaga keterbukaan pengadilan untuk melakukan rechtsvinding dan rechtvorming atas constitutional rights dalam a just political constitution karena keadilan substantif itu sifanya open ended, maka keadilan formal itu akan dapat berubah menjadi keadilan substantif. Dengan kata lain secara teoritis keadilan substantif telah dapat ditemukan atau dirumuskan dalam putusan hakim atas suatu perkara” 15) Karena semangat menjunjung tinggai hak asasi manusia yang ada di dalam KUHAP yang dimanifestasikan melalui lembaga Praperadilan maka tindakan aparatur penegak hukum yang bersifat pembatasan terhadap kemerdekaan seseorang dapat diuji sah atau tidaknya di Praperadilan. Dapat dikatakan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia kewenangan Praperadilan telah mengalami perluasan secara sistematis; 16) Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa tindakan lain dari penyidik atau penuntut umum, antara lain penyitaan dan penetapan Tersangka telah dapat diterima untuk menjadi objek dalam pemeriksaan Praperadilan. Sebagai contoh putusan perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bangkayang No.01/Pid.Prap/PN.Bky tanggal 18 Mei 2011 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012, yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Terkait sah tidaknya penetapan Tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain ”tidak sah menurut hukum tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka”. 17) Selain itu, terakhir di dalam putusan perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang PEMOHONnya adalah Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang sekarang merupakan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang merupakan atasan TERMOHON sendiri, mengabulkan permohonannya yang pada intinya “tidak sahnya tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka” 18) Kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang pada intinya menyatakan “pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; 19) Dalam konteks substansi mengadili, ketentuan di atas diperkuat dengan adanya ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”; 20) Hal tersebut ditambah lagi dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikut, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”; 21) Dengan demikian, sudah jelas dalam rangka pemberian jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia kepada setiap Tersangka dari penyalahgunaan kewenangan aparatur penegak hukum (abuse of power) maka kewenangan lembaga Praperadilan telah mengalami perluasan kewenangan secara sistematis termasuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka yang dapat dilihat dalam pasal pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014. Ketentuan tersebutlah yang menjadi dasar hukum permohonan PEMOHON.
1) Bahwa Termohon adalah merupakan Institusi Pemerintah sebagai Pejabat struktural yang memiliki tugas dan tanggung jawab membantu Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam membentuk, melakukan Pembinaan, Pengawasan dan pengendalian terhadap proses penyidikan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat kepolisian dibawahnya sesuai ketentuan Pasal 20 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2) Bahwa Pemohon adalah seorang pejabat Lurah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memimpin kelurahan Tunggurono Kecamatan Binjai Timur menjalankan pemerintahan yang bertanggung jawab kepada Camat. Yang dimana Pemohon sudah ditetapkan sebagai status sebagai Tersangka dan ditahan di Polres Binjai sampai saat ini; 3) Bahwa perkara a-quo berawal sejak adanya Laporan Polisi Nomor: LP/B/1475/X/2024/SPKT/POLDA SUMUT, tanggal 18 Oktober 2024 atas nama Pelapor Amri Luhut Tambunan, dengan dugaan telah melakukan tindak pidana Pengancaman dan Kekerasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 368 KUHP. Dan saat ini Pemohon berada dalam penahanan oleh Termohon. 4) Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2024, sekitar pukul 10.00 Wib Pemohon menerima telepon dari sdr Timbul untuk bertemu Pelapor Amri Luhut Tambunan di Cafe Tropicollo pukul 14.00 wib yang beralamat di jalan Soekarno Hatta No. 90 Kota Binjai. Yang dimana Pemohon dan Pelapor belum pernah bertemu sebelumnya namun karena Pelapor mengaku keponakan seorang bernama Timbul akhirnya Pemohon mau bertemu; 5) Bahwa pada saat pertemuan Pemohon dengan Pelapor di Cafe Tropicollo pukul 14.00 wib pembicaraan diputar-putar kemana-kemana dan sudah melenceng ke arah biaya pengurusan yang dimana secara administratif saja belum lengkap. Dan tiba-tiba akhirnya Pelapor menyodorkan uang sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dan pada saat itu Pemohon menolaknya tapi Pelapor membujuk dengan kalimat ” gak apa-apa pak, bapak simpan aja dulu ke tasnya”. Tiba-tiba Pemohon digeledah dan ditangkap oleh Termohon dengan cara dipiting tanpa adanya bukti permulaan dan Surat Penangkapan serta surat tugas sesuai ketentuan Pasal 17 KUHAP jo Pasal 1 butir 20 peraturan KAPOLRI No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dengan alasan hukum Laporan Polisi No. LP/B/1475/X/2024/SPKT/POLDA SUMUT., baru dibuat pasa tanggal 18 Oktober 2024 yaitu PADA HARI YANG SAMA dengan hari Penangkapan tersebut; 6) Bahwa kemudian setelah 1 hari Pemohon (Tersangka) ditangkap dan ditahan oleh Termohon, maka pada tanggal 19 Oktober 2024 Termohon mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/288/X/2024/Ditreskrimum untuk menangkap Pemohon. Yang dimana surat penangkapan tersebut baru diterima keluarga Pemohon pada tanggal 24 Oktober 2024. 7) Bahwa ternyata meskipun tanpa adanya bukti permulaan yang cukup, Termohon tetap melakukan Penahanan selama 20 (dua puluh) hari terhadap Pemohon (Tersangka) sejak tanggal 19 Oktober 2024, berdasarkan Surat Perintah Penahanan No. SP.Han/206/X/2024/Ditreskrimum tanggal 19 Oktober 2024 sampai tanggal 07 Nopember 2024. 8) Bahwa dikarenakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Termohon atas Pemohon tersebut belum selesai, maka pada tanggal 30 Oktober 2024 Termohon telah meminta kepada Kejaksaan Negeri Binjai untuk memperpanjang masa penahanan terhadap Pemohon, yang mana selanjutnya atas permohonan dari Termohon tersebut kemudian Kejaksaan Negeri Binjai menerbitkan Surat Perpanjang Penahanan Nomor: KEP-627/L.2.11/Eoh.1/11/2024 yang dikeluarkan pada tanggal 01 Nopember 2024, yan ditandatangani oleh Jufri, S.H., M.H. selaku Penuntut Umum dengan masa tahanan sampai dengan tanggal 17 Desember 2024. B. TENTANG HUKUMNYA BAHWA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON TERHADAP PEMOHON ADALAH TIDAK SAH DIKARENAKAN TIDAK ADANYA BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 17 KUHAP DAN PASAL 21 AYAT 1 KUHAP Jo Pasal 1 BUTIR 21 PERATURAN KAPOLRI NO. 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA 1. Bahwa faktanya Penangkapan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon pada tanggal 18 Oktober 2024 dengan tanpa adanya Bukti Permulaan, Laporan Polisi dan Surat Perintah Penangkapan adalah BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU, dimana hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP, yang kutipannya sebagai berikut: 2. Bahwa faktanya Penangkapan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon adalah CACAT HUKUM dan TIDAK PROSEDURAL dikarenakan Penangkapan yang dilakukan oleh Termohon adalah dilakukan tanpa adanya 1 (satu) alat bukti yang sah ataupun hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara baik atas saksi Pelapor Amri Luhut Tambunan, saksi Eva Meylan dan Pemohon (Tersangka), hal ini bertentangan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: • Pasal 17 KUHAP jo Pasal 1 butir 21 peraturan KAPOLRI No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang bunyinya sebagai berikut: Pasal 17 KUHAP : Pasal 1 butir 21 peraturan KAPOLRI No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana: “bukti permulaan adalah alat bukti berupa laporan polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan”. • Alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1), yaitu sebagai berikut: 1. Keterangan saksi • Pasal 33 ayat (1) peraturan KAPOLRI No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, menyatakan sebagai berikut: Pasal 33 ayat 1 : • Pasal 14 huruf g Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang bunyinya sebagai berikut: “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” 3. Bahwa dengan didasarkan kepada Surat Penangkapan yang TIDAK SAH dan mengandung CACAT HUKUM tersebut, kemudian Termohon melakukan TINDAKAN PENAHANAN terhadap Pemohon dengan menerbitkan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Kap/288/X/2024/Ditreskrimum tanggal 19 Oktober 2024, dengan TANPA ADANYA PEMERIKSAAN (BAP) TERHADAP TERSANGKA PADA PEMOHON. Yang mana tindakan Termohon tersebut adalah merupakan Tindakan Melawan Hukum yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Jo. Pasal 21 ayat (2) KUHAP jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Sehingga berdasarkan fakta hukum tersebut di atas terbukti bahwa Tindakan PENAHANAN yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon, adalah TIDAK SAH, karena didasarkan kepada SURAT PERINTAH PENANGKAPAN yang TIDAK SAH dan mengandung CACAT HUKUM yang membawa konsekuensi yuridis yaitu BAHWA SEMUA RANGKAIAN PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON HARUS DINYATAKAN TIDAK SAH. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, terbukti bahwa Penangkapan dan Penahanan serta Perpanjang Penahanan yang dilakukan oleh Termohon adalah bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, maka demi hukum harus dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. BAHWA FAKTANYA SURAT PENANGKAPAN YANG DITERBITKAN OLEH TERMOHON ADALAH KABUR DAN TIDAK JELAS, KARENA SURAT PENANGKAPAN TERSEBUT DIBERIKAN KEPADA TERSANGKA DAN KELUARGANYA, MENGGUNAKAN NOMOR SURAT YANG SAMA DAN TANGGAL YANG BERBEDA. 4. Bahwa faktanya Surat Penangkapan yang diterbitkan oleh Termohon tersebut KABUR dan TIDAK JELAS, karena menggunakan nomor yang sama namun tanggal berbeda sebagaimana yang akan kami jelaskan sebagai berikut: Berdasarkan fakta hukum tersebut ada 2 surat penangkapan terbit dengan nomor yang sama dan tanggal yang berbeda yang ditujukan kepada Pemohon yang sama yang dikeluarkan oleh Termohon, yang mana hal tersebut jelas adalah KABUR dan TIDAK JELAS karena mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon selaku Tersangka, hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang kutipannya sebagai berikut: Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dikarenakan Surat Perintah Penangkapan yang dikeluarkan oleh Termohon tersebut di atas telah bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka secara hukum terhadap Pemohon selaku Tersangka sudah selayaknya dikeluarkan dari tahanan.
5. Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Gagasan negara hukum dianut dalam penyelenggaran negara yang berciri Due Process of Law secara konstitusional. Maka sejalan dengan hal tersebut salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; 6. Bahwa asas Due Process of Law sebagai perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang sama, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana dalam mempertahankan hak-haknya; 7. Bahwa dalam perkara a quo pelanggaran terhadap prinsip due process of law dengan jelas dapat terlihat ketika TERMOHON menetapkan PEMOHON menjadi Tersangka tanpa adanya alat bukti permulaan yang akan dijelaskan seperti di bawah ini; 8. Penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu persitiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan (vide pasal 1 angka 5 KUHAP); 9. Sedangkan penyidikan adalah merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya (vide pasal 1 angka 2 KUHAP); 10. Mengacu kepada ketentuan di atas, bahwa untuk mencapai penetapan status seseorang menjadi Tersangka haruslah diperlukan pencarian dan penemuan terhadap suatu peristiwa pidana (peyelidikan) dan kemudian dilakukannya pengumpulan bukti-bukti agar suatu tindak pidana menjadi semakin terang, sehingga melalui bukti-bukti tersebut Tersangka dapat ditemukan (penyidikan); 11. Tersangka itu sendiri adalah seseorang yang karena perbuataannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (vide pasal 1 angka 14 KUHAP); 12. Karena bukti permulaan tidak pernah dijelaskan di dalam KUHAP maka di dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU/XII/2014 menjelaskan bahwa: “oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup, sebagaiman ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) (KUHAP), harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 dan disertai pemeriksaan calon tersangkanya…” 13. Dengan demikian, proses penetapan seseorang menjadi tersangka haruslah dilakukan secara prosedural yang dilandasi dengan adanya alat bukti permulaan yang artinya terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dan disertai pemeriksaan calon tersangka (vide pasal 1 angka 14 KUHAP Jo Putusan MK Nomor 21/PUU/XII/2014); 14. Adapun bunyi pasal 184 KUHAP yang dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: (1) Alat bukti yang sah ialah: (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan 15. Bahwa PEMOHON ditangkap berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/288/X/2024/Ditreskrimum dikeluarkan pada tanggal 19 Oktober 2024, terkait dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUHP; (VIDE Alat Bukti P-1) 16. Bahwa sementara pada tanggal, bulan dan tahun yang sama TERMOHON tanpa mendahului pemeriksaan terhadap PEMOHON sebagai calon Tersangka (Saksi) langsung memeriksa PEMOHON sebagai Tersangka sebagaimana termuat didalam Berita Acara Tersangka tertanggal 19 Oktober 2024; (VIDE Alat Bukti P-2) 17. Merujuk terhadap keseluruhan argumentasi diatas maka penetapan PEMOHON sebagai tersangka tanpa didahului PEMOHON sebagai calon tersangka (Saksi) adalah tidak sah secara hukum karena dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 14 KUHAP Jo. Putusan MK No. 21/PUU/XII/2014
2) Menyatakan tindakan upaya paksa PENANGKAPAN yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon tanpa adanya Surat Perintah Penangkapan adalah TIDAK SAH dan mengandung CACAT HUKUM; 3) Menyatakan tindakan upaya paksa PENANGKAPAN yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor SP.Kap/288/X/2024/Ditreskrimum dikeluarkan pada tanggal 19 Oktober 2024 adalah TIDAK SAH dan mengandung CACAT HUKUM. 4) Menyatakan tindakan PENAHANAN yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon berdasarkan SURAT PERINTAH PENAHANAN No. SP.Han/206/X/2024/Ditreskrimum tanggal 19 Oktober 2024, yang merupakan tindak lanjut dari Penangkapan yang TIDAK SAH dan CACAT HUKUM, adalah menjadikan PENAHANAN tersebut juga menjadi TIDAK SAH menurut hukum; 5) Menyatakan SURAT PERPANJANG PENAHANAN Nomor KEP-627/L.2.11/Eoh.1/11/2024 dari tanggal 08 Nopember 2024 s/d tanggal 17 Desember 2024 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Binjai pada tanggal 01 Nopember 2024 berdasarkan SURAT PERMINTAAN PERPANJANG PENAHANAN Nomor : K/206.a/XI/2024/Reskrim tanggal 30 Oktober 2024 yang diajukan oleh Termohon, yang mana Perpanjangan Penahanan tersebut merupakan tindak lanjut dari penahanan yang dilakukan Termohon secara TIDAK SAH dan CACAT HUKUM menjadikan PERPANJANG PENAHANAN tersebut juga menjadi TIDAK SAH menurut hukum. 6) Menyatakan Termohon tidak berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara Pemohon karena Perkara a quo tidak memenuhi unsur “mengancam dengan kekerasan” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 368 KUHP, oleh karena itu Penyidikan atas perkara a quo secara hukum harus dinyatakan tidak sah. 7) Memerintahkan Termohon untuk menghentikan penyidikan yang dilakukan terhadap Pemohon. 8) Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON; 9) Menghukum dan memerintahkan Termohon untuk membebaskan atau mengeluarkan Pemohon dari tahanan Polres Binjai segera setelah dibacakannya putusan dalam perkara ini. 10) Menghukum Termohon untuk mematuhi isi putusan dalam perkara ini; 11) Menghukum PARA TERMOHON untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo.
|
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |