Petitum Permohonan |
Dengan hormat,
Kami yang bertandatangan di bawah ini :
SRI FALMEN SIREGAR, S.H. GOKMAULIATE SITINJAK, S.H.
UNIVY HIA, S.H. RONI D. TAMBUNAN, S.H.
CHRISTIAN P. SINAGA, S.H. GELORA SINAGA, S.H.
Kesemuanya adalah Warga Negara Indonesia, Pekerjaan Advokat-Para Legal, pada Kantor Hukum SRI FALMEN SIREGAR, S.H & PARTNERS yang berkedudukan di Jalan Ring Road/Gagak Hitam Kompleks Ruko Abadi No.112/88 (Samping Rumah makan Anjani/Indomaret Ring Road 2) Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Sumatera Utara 20122, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 26 Oktober 2021 (Surat Kuasa Terlampir), bertindak untuk dan atas nama: MUHAMMAD CHAIRUM, Laki-laki, umur ± 35 tahun, Pekerjaan belum/tidak bekerja, Warga Negara Indonesia, Alamat Jl. Datuk Bakar no 18, Lk III Kelurahan Binjai, Kecamatan Binjai Kota, Binjai, Sumatera Utara. Selanjutnya disebut sebagai---------------------------------------------------------------------------------------------------PEMOHON
PEMOHON dengan ini mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN sehubungan dengan ditetapkannya Pemohon sebagai Tersangka atas Laporan Polisi Nomor /56/IX/2021/SPKT Polsek Binjai Kota Polres Binjai Polda Sumut, tanggal 2 September 2021 atas nama pelapor NISMA BR PERANGIN ANGIN;
TERHADAP:
Pemerintah Negara Republik Indonesia di Jakarta Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Cq. Kepala Kepolisiaan Resor Binjai, Cq. Kepala Kepolisian Sektor Binjai Kota, beralamat dan berkantor di Jl Veteran No 3, Tangsi, Binjai, Kota Binjai, Sumatera Utara, 20741;
Selanjutnya disebut sebagai:------------------------------------------------------TERMOHON
Adapun dasar dan alasan hukum Pemohon mengajukan Permohonan Praperadilan ini adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini :
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Bahwa perlu dipahami dan diketahui bahwa terlahirnya lembaga Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang Tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;
2. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP, secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic.Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini Pemohon. Menurut Luhut M. Pangaribuan, lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang;
3. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;
4. Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya;
5. Bahwa apabila kita melihat pendapat S. Tanusubroto, yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memberikan peringatan :
Agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;
Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang menyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia;
Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan financial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu;
Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan;
Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka;
Selain itu menurut pendapat Indriyanto Seno Adji bahwa KUHAP menerapkan lembaga Praperadilan untuk melindungi seseorang dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian dan atau kejaksaan (termasuk Termohon sebagai salah satu institusi yang juga berhak menyidik) yang melanggar hukum dan merugikan seseorang (in casu Pemohon), dimana lembaga Praperadilan ini berfungsi sebagai lembaga pengawas terhadap upaya paksa yang dilaksanakan oleh pejabat penyidik dalam batasan tertentu.
6. Bahwa apa yang diuraikan di atas, yaitu Lembaga Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia, telah dituangkan secara tegas dalam Konsiderans Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP dengan sendirinya menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi :
a) “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
(b) “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Juga ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke-6 yang berbunyi :
“...Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”
7. Bahwa Pasal 77 KUHAP mengatur tentang wewenang Pengadilan untuk mengadili Praperadilan yang berbunyi: “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya Penangkapan, Penahanan, Penghentian Penyidikan, atau Penghentian Penuntutan;
b. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat Peyidikan atau penuntutan.
8. Bahwa selanjutnya Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah memperluas ruang lingkup Praperadilan, sehingga ruang lingkup Praperadilan selain yang termaktup didalam Pasal 77 KUHAP juga meliputi Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014;
9. Bahwa Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 77 KUHAP tentang objek Praperadilan menambahkan bahwa penetapan Tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai obyek praperadilan;
10. Bahwa selain itu Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa 'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan Tersangka dan penyidikan;
11. Bahwa dengan keluarnya putusan MK ini maka Pasal 77 KUHAP serta Pasal 1 angka 10 KUHAP diubah MK dengan memasukkan penetapan Tersangka masuk dalam objek Praperadilan ditambah lagi tindakan penggeledahan dan penyitaan juga masuk dalam objek Praperadilan. Dengan demikian dapat dipastikan tindakan abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan yang kadang kala dilakukan penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka bisa dihindari. Dengan adanya mekanisme control melalui Praperadilan. Selain itu bukan hanya penetapan Tersangka yg menjadi objek Praperadilan akan tetapi MK juga memutuskan bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan yg dilakukan penyidik masuk sebagai objek Praperadilan;
12. Bahwa mengenai bukti permulaan yang cukup atau bukti cukup adalah merupakan Pasal abu-abu dalam Kuhap (Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) ) juga semakin diperjelas MK bahwa yg dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah berdasarkan pada minimal dua alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP yaitu :
Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
13. Bahwa dengan demikian jika suatu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang akan dilakukan penyelidik dan penyidik harus senantiasa mendasarkan keputusannya dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka berdasarkan alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP dan tak boleh menetapkan seseorang sebagai Tersangka hanya berdasarkan asumsi belaka;
14. Bahwa dalam praktek peradilan, Hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan tindakan-tindakan lain dari penyidik/penuntut umum yang dapat menjadi objek Praperadilan. Beberapa tindakan lain dari penyidik atau penuntut umum, antara lain penyitaan dan penetapan sebagai Tersangka, telah dapat diterima untuk menjadi objek dalam pemeriksaan Praperadilan. Sebagai contoh Putusan Perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/PN.Bky., tanggal 18 Mei 2011 Jo. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012, yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Terkait dengan sah tidaknya penetapan Tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain “tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka”;
15. Bahwa berkenaan dengan Penetapan Tersangka telah dinyatakan sebagai obyek Praperadilan telah pula dikuatkan dan dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagaimana disebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No.21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 April 2014;
16. Bahwa berdasarkan argumentasi hukum di atas dan mengacu kepada ruh atau asas fundamental KUHAP (perlindungan hak asasi manusia) Jo. Ketentuan Pasal 17 UU HAM Jo. Pasal 2 angka 3 huruf a dan b ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU KOVENAN INTERNASIONAL, serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No.21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 April 2014, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang Aparatur Negara dalam melaksanakan KUHAP melalui lembaga Praperadilan telah secara sah mengalami perluasan sistematis (de systematische interpretatie) termasuk meliputi penggunaan wewenang Penyidik dalam Penetapan Tersangka.
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
Adapun alasan-alasan Yurisis permohonan Pemohon keberatan atas ditetapkan dirinya sebagai Tersangka adalah sebagai berikut:
A. Pemohon Tidak Pernah Diperiksa Sebagai Calon Tersangka
1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
2. Bahwa Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
3. Bahwa “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
4. Bahwa Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenangan oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 26 Oktober 2021 berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (Tersangka).
6. Bahwa untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Termohon I kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon I.
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
B. Penetapan Status Pemohon Sebagai Tersangka Tidak Sesuai Prosedur Hukum dan Kepastian Hukum
1. Bahwa pasal yang diduga telah dilanggar oleh Muhammad Chairum adalah pasal 363 KUHAP, dalam hal ini kami menduga penyidik tidak professional dan sewenang-wenang dalam menetapkan Pasal 363 KUHP tanpa memberikan atau mencantumkan ayat keberapa yang dilanggar oleh Tersangka, sehingga menimbulkan kerancuan, keraguan dan kebingungan baik kepada tersangka sendiri maupun kepada kami selaku penasehat hukumnya, padahal pasal 363 KUHP itu terdiri dari 5 (lima) ayat, dan hal tersebut merugikan bagi Tersangka karena tidak mengandung Kepastian Hukum.
2. Bahwa setelah kami teliti dan cermati berdasarkan surat penangkapan No: SP-Kap/36/X/2021/Reskrim, menyatakan “diduga telah ikut melakukan tindak pencurian” di Kantor Dinas Perpustakaan Kota Binjai, sehingga kami menafsirkan adanya perbuatan turut serta (Deelneming), sehingga dalam menetapkan pasal 363 harusnya penyidik menyertakan juga (juncto/jo) pasal 55 KUHP.
3. Bahwa penetapan status tersangka oleh Termohon, apabila belum dilakukan gelar perkara haruslah sudah mempunyai 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP Jo Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana pasal 25 ayat (1) yang berbunyi “penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti, jo Putusan MK Republik Indonesia No 21/PUU-XII/2014 tertanggal 2 April 2014. Maka tindakan penyidik yang telah menetapkan status Pemohon sebagai Tersangka dan Termohon yang melakukan Penangkapan terhadap Pemohon jelas tidak sesuai dengan prosedur yang mengindikasikan tindakan kesewenang-wenangan dan tidak profesional yang sangat merugikan bagi tersangka, karena menimbulkan akibat hukum berupa pembunuhan karakter serta terampasnya hak maupun harkat martabat tersangka.
4. Bahwa Untuk Proses Penyidikan yang tidak sesuai dengan prosedur tersebut, Kami Penasihat Hukum sebagai kuasa dari Pemohon telah melayangkan surat keberatan atas penyidikan yang ditangani oleh Penyidik atas nama ABED NEBO,S.H.,M.H., Pangkat IPTU Nrp 74020190, Jabatan sebagai Penyidik pada Polsek Binjai Kota, Sumatera Utara dan SAUT MALAU, Pangkat AIPTU Nrp 69020344, Jabatan sebagai Penyidik Pembantu pada Polsek Binjai Kota, Sumatera Utara dengan Nomor : 10/SFS/X/2021 tertanggal 27 Oktober 2021 kepada Pengawas Penyidik Reskrimum Polda Sumut.
C. Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Tidak Memenuhi Minimal 2 (Dua) Alat Bukti Permulaan Yang Cukup
1. Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka tanpa disertai dengan 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup sebagaimana terdapat dalam Pasal 184 KUHAP sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No.21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 April 2014 dimana yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah berdasarkan pada minimal dua alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP yaitu :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
2. Bahwa dari ke 5 (Lima) alat bukti sebagaimana terdapat dalam Pasal 184 KUHAP pada tahap penyidikan dan penuntutan hanya mungkin 3 (tiga) didapat alat bukti permulaan yang cukup yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat. Sedangkan alat bukti petunjuk merupakan otoritas hakim dan keterangan terdakwa tidak mungkin diperoleh pada tahap penyidikan;
3. Bahwa alasan Pemohon menyatakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak berdasarkan pada 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup sebagaimana terdapat dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:
- Bahwa satu-satunya alat bukti yang digunakan oleh Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah Rekaman CCTV yang harus dibuktikan Otentikasi Video tersebut sebagai bukti Petunjuk
- Bahwa sesuai dengan pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” Saksi dalam hal ini orang yang benar-benar secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan Pasal 185 ayat (6) KUHAP) untuk itu keterangan saksi satu saksi harus didukung bukti lain untuk menjelaskan tindak pidana tersebut, karena kesaksian satu orang saksi bukanlah sebuah kesaksian (unus testis nullus testis).
4. Bahwa dapat Kami sampaikan yang dimaksud dengan minimal 2 (dua) alat bukti adalah kuantitasnya minimal dua dan juga kualitasnya yaitu apakah saling bersesuaian.
5. Bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka tidak sesuai dengan isi dan bunyi dari Pasal 1 butir 14 KUHAP, yang menyatakan: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
6. Bahwa oleh karena Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon tidak berdasarkan 2 (dua) alat bukti maka telah bertentangan juga dengan Pasal 25 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana pasal 25 ayat (1) yang berbunyi “Penetapan Tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti”.
III. Kesimpulan
1. Bahwa berdasarkan keseluruhan hal-hal yang telah di uraikan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa patut kiranya menurut hukum penetapan status Tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon tidak sah.
2. Bahwa demikian pula proses penyidikan terhadap Pemohon serta tindakan-tindakan lainnya dalam penyidikan setelah adanya penetapan Tersangka adalah tidak sah.
3. Bahwa karena Penetapan status Tersangka kepada Pemohon oleh Termohon tidak sah maka seluruh Surat Perintah dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon tersebut patutlah dinyatakan tidak sah.
4. Bahwa tindakan Termohon untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau Perundang-undangan yang berlaku. Artinya setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan Tersangka) tidak dipenuhi, maka sudah tentu proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dibatalkan.
5. Bahwa dapat Pemohon tambahkan lagi berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara jelas dan nyata tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, melakukan Penangkapan dan Penahanan kepada Pemohon telah merugikan Pemohon secara meteriil dan secara immateriil;
6. Bahwa besarnya kerugian materiil Pemohon adalah sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah);
7. Bahwa besarnya kerugian immateriil yang dialami Pemohon karena hilangnya nama baik, harkat dan martabat Pemohon di depan masyarakat, keluarga dan teman sejawat, terlebih dihadapan instansi swasta dan pemerintah, baik sipil dan militer, yang jika diperhitungkan dengan nilai uang tidak ternilai, namun guna untuk memudahkan penghitungannya ditetapkan sebesar Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah);
8. Bahwa oleh karena Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka dengan dugaan melakukan tindak pidana “Pencurian” melanggar pasal 363 (tanpa ayat) KUHPidana telah menimbulkan kerugian materiil dan immateriil yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian Penyidik dalam menerapkan hukum maka harkat dan martabat Pemohon harus dipulihkan dan direhabilitasi.
IV. PERMOHONAN
Berdasarkan uraian, dan argumentasi yuridis yang telah dikemukakan oleh Pemohon Praperadilan tersebut diatas mohon kepada Yth. Ketua Pengadilan Negeri Binjai cq. Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara a quo, sudi kiranya memanggil para pihak yang beperkara hadir bersidang pada hari dan tempat yang telah ditentukan untuk itu seraya mengambil putusan hukum yang amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana “Pencurian” sebagaimana dimaksud dalam pasal 363 (tanpa ayat) adalah Tidak Sah;
3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Pemohon sebagai Tersangka;
4. Memerintahkan Termohon untuk mengeluarkan Pemohon dari Tahanan.
5. Melakukan rehabilitasi dan mengembalikan kedudukan hukum Pemohon sesuai dengan harkat dan martabat dari Pemohon;
6. Menghukum Termohon untuk membayar ganti kerugian materiil Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan kerugian immateriil sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah);
7. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo.
Atau:
Apabila Bapak/Ibu Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Demikian Permohonan Praperadilan ini, atas kebijaksanaan Bapak/Ibu Hakim dalam pemeriksaan ini, Kami ucapkan terimakasih.
|